Senin, 24 Agustus 2015

MoU (Memorandum of Understanding)


MEMORANDUM OF UNDERSTANDING

Sebuah nota kesepahaman memorandum of understanding atau MoU adalah sebuah dokumen legal yang menjelaskan persetujuan antara dua belah pihak. MoU tidak seformal sebuah kontrak.

MoU adalah nota kesepahaman, tingkatannya di bawah perjanjian, dan dokumen ini hanya merupakan sebuah Nota Kesepahaman dan tidak memiliki ikatan hukum bagi para pihak. Hal ini disebabkan MoU ini lebih sebagai good will para pihak yang berencana membuat perjanjian, sebelum perjanjian definitif dibuat. Selanjutnya, batas waktu MoU ini relatif pendek (misalnya paling lama 1 tahun), setelah waktu yang disepakati lewat dan belum dibuatkan perjanjian detil definitif, MoU ini akan ditinjau ulang oleh para pihak dalam MoU, dan dapat direvisi atau diperpanjang secara bersama-sama dengan perjanjian definitif tertulis. Dalam melakukan revisi, masing-masing pihak harus memberikan pertimbangan penuh terhadap usul amandemen yang disusun oleh pihak lain. Amandemen tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari MoU ini.


Kontrak atau perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih mengenai hal tertentu yang disetujui oleh mereka. Ketentuan umum mengenai kontrak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

Syarat kontrak

Untuk dapat dianggap sah secara hukum, ada 4 syarat yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia:
  1. Kesepakatan para pihak
  2. Kecakapan para pihak
  3. Mengenai hal tertentu yang dapat ditentukan secara jelas
  4. Sebab/causa yang diperbolehkan secara hukum.


Tahapan urutan pembuatan kontrak :

1. Pendahuluan
  Berisi judul dan Pembukaan.

2.Akibat dari tidak dipenuhinya syarat kontrak

Tidak dipenuhinya syarat No. 1 dan 2 di atas memberi dasar kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk memohon kepada pengadilan yang berwenang untuk membatalkan kontrak tersebut. Sementara itu, pelanggaran atas syarat No. 3 dan 4 mengakibatkan kontrak yang bersangkutan menjadi batal demi hukum.

Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia). Oleh karenanya, perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangakaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

perbedaan Memorandum of Understanding (Mou)  dengan Kontrak.

Perlu Anda ketahui, bahwa pengertian secara garis besar antaranya keduanya itu sama saja yakni suatu ‘kesepakatan’ yang harus ditunaikan oleh dua pihak yang saling mengikatkan diri. namun antara keduanya itu mempunyai perbedaan yang sangat penting.

Memorandum of Understanding (MoU) dalam bahasa Indonesia berarti Nota Kesepahaman. Di dalam MoU ini dituangkan bahwa kedua pihak secara prinsip sudah memahami dan akan melakukan sesuatu untuk tujuan tertentu sesuai isi dari MoU tersebut. Sanksi dari tidak dipenuhinya/pengingkaran dari sebuah MoU sifatnya moral, bukan denda atau hukuman. Sedangkan Perjanjian (Kontrak), sebuah perbuatan hukum yang dibuat antar pihak yang minimbulkan hak dan kewajiban dn berakibat pada sanksi bagi pihak yang mengingkari atau lalai dalam melaksanakan perjanjian tersebut. (Baca Bab Konsultasi Hukum terdahulu di tabloid ini berjudul: Perjanjian dan Wanprestasi).

Di bawah ini akan coba saya jelaskan mengenai pengertian tentang MoU dan Kontrak dalam pengertian yang khusus.

Berikut ini adalah beberapa hal mendasar mengenai Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding, MoU):

Pertama, nota kesepahaman yang dibuat antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum lainnya, baik dalam suatu negara maupun antar negara untuk melakukan kerjasama dalam berbagai aspek kehidupan untuk jangka waktunya tertentu.
Kedua, MuO menjadi dasar penyusunan kontrak pada masa datang yang didasarkan dengan memuat hasil permufakatan para pihak, baik secara tertulis maupun secara lisan.

Ketiga, MoU merupakan ‘kesepakatan’ awal/ pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam sebuah perjanjian  yang pengaturannya lebih rinci (detail), karena itu, MoU berisikan hal-hal yang pokok saja.

Keempat, MoU menjadi dokumen yang memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi MoU harus dimasukkan ke dalam perjanjian, sehingga mempunyai kekuatan mengikat dan ditambah pasal tentang sanksi serta pilihan hukum pengadilan mana yang akan memeriksa bila terjadi wanprestasi.

Bagaimana tentang Perjanjian atau sering disebut Kontrak? Pengertiannya dapat ditemukan dalam pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu: “Suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Pendapat lain tentang kontrak dapat ditemukan dalam Black’s Law Dictionary, bahwa kontrak adalah: “Suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat suatu hal yang khusus”.

Pengertian tersebut menegaskan tentang subjek dan objek yang dipakai antara keduanya itu sangat berbeda pemberlakuannya. MoU subjeknya dapat digolongkan kepada dua subjek yaitu pihak atau subjek yang berlaku secara nasional maupun internasional. Subjek nasional adalah antar badan hukum privat Indonesia, badan hukum privat dengan pemerintah Provinsi, Kabupaten atau Kota, juga antar badan hukum publik di Indonesia, antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara asing,  antara badan hukum privat Indonesia dengan badan hukum privat negara asing.  Objek dari MoU adalah kerjasama dalam berbagai bidang kehidupan, seperti bidang ekonomi, perhutanan, kehutanan dan lain-lain.

Sedangkan subjek kontrak digolongkan kepada dua jenis, yaitu kreditur, yaitu pihak yang berhak atas sesuatu dari pihak lain dan  Debitur, yaitu pihak yang berkewajiban memenuhi sesuatu kepada kreditur.  Sementara objek dari kontrak yakni, menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu  dan tidak melakukan sesuatu.

Disini dapat dijelaskan,  bahwa antara MoU dengan kontrak itu adalah dua istilah yang berbeda. Perbedaan tersebut juga terlihat dari sumber hukum yang dipakai antara keduanya.

Baik MoU maupun Kontrak, memiliki sumber hukum yang sama antara lain, Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata, Undang-Undang No 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, doktrin dan kebiasaan. Selain itu, mengenai kontrak, juga dapat dilihat dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).

Perbedaan substansial dari MoU dan kontrak adalah, MoU tidak memiliki akibat/sanksi hukum yang tegas karena hanya merupakan ikatan moral, sedangkan kontrak mempunyai akibat/sanksi hukum bagi para pihak.

Dilihat dari materi, MoU hanya memuat hal-hal yang pokok saja, sedangkan dalam kontrak sebagian materi yang digunakan memuat ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan secara terperinci .

Meskipun begitu, persetujuan yang disepakati para pihak baik dalam suatu MoU maupun dalam perjanjian harus dijalankan dengan itikad baik dan tanpa paksaan dari salah satu pihak. Dalam perjanjian, apabila syarat tersebut tidak dipenuhi atau dilanggar oleh salah satu pihak, maka perikatan perjanjian menjadi batal demi hukum.

Dalam perjanjian juga dikenal istilah Wanprestasi, halmana salah satu pihak yang terikat dalam suatu perjanjian lalai atau tidak melakukan kewajibannya, maka pihak lainnya berhak atas ganti rugi (prestasi) yang ditimbulkan sesuai ketentuan yang disepakati dalam perjanjian tersebut. Baik karena kesengajaan mau pun kealpaan (kelalaian) yang dilakukan salah satu pihak.

Dalam MuO tidak dikenal istilah wanprestasi. Kelalaian para pihak dalam menunaikan kewajiban masing-masing, hanyalah akan memperoleh sanksi moral, misalnya dikucilkan dalam pergaulan dan dianggap sebagai “pihak yang tidak dapat dipercaya” saja.

NOTA KESEPAHAMAN — MOU : MEMORANDUM OF UNDERSTANDING

NOTA KESEPAHAMAN —
MOU : MEMORANDUM OF UNDERSTANDING


kompilasi dan transkripsi : (C) 2010-2011 — Achmad Firwany


MOU [ definisi ]

Suatu nota kesepahaman (memorandum of understanding, MOU) adalah suatu persetujuan (agreement) antara dua atau lebih pihak, bilateral atau multilateral, dalam bentuk suatu dokumen hukum. MOU tak sepenuhnya mengikat secara hukum dalam cara sebagaimana suatu kontrak mengikat secara hukum para pihak terlibat didalamnya, tapi MOU lebih kuat dan lebih resmi daripada suatu persetujuan jantan (gentlemen's agreement) atau persetujuan lisan tradisional. Terkadang, suatu MOU digunakan sebagai suatu sinonim umum untuk suatu surat minat (letter of intent, LOI), terutama dalam hukum swasta di Amerika Serikat. Suatu LOI mengungkapkan suatu kepentingan dalam melaksanakan suatu layanan atau mengambil bagian dalam suatu kegiatan, tapi secara hukum tak mewajibkan pihak manapun.

Dalam hukum publik internasional, suatu MOU sering digunakan. MOU memiliki banyak keuntungan praktis bila dibandingkan dengan perjanjian (treaty). Ketika berhadapan dengan isu-isu sensitiv atau pribadi, suatu MOU dapat dibuat secara rahasia, sementara suatu perjanjian tidak.

Suatu MOU juga dapat diberlakukan dalam suatu cara lebih tepat-waktu daripada suatu perjanjian, karena MOU tak memerlukan ratifikasi atau pengesahan atas keabsahannya secara hukum. Selain itu, suatu MOU dapat diubah atau dimodifikasi tanpa negosiasi berkepanjangan. Ini khususnya sangat berguna, kecuali dalam situasi multilateral. Dalam fakta, kebayakan persetujuan internasional dan persetujuan penerbangan transnasional adalah suatu jenis MOU.

. . .

Suatu MOU adalah dokumen yang memerikan persetujuan bilateral atau multilateral antara para pihak. MOU mengungkapkan suatu konvergensi keinginan atau kemauan antara para pihak, yang menunjukkan suatu garis umum dimaksud dari tindakan. MOU sering digunakan dalam kasus-kasus dimana para pihak tak menginkan suatu komitmen hukum atau dalam situasi-situasi dimana para pihak tak dapat menciptakan suatu persetujuan bisa-ditegakkan secara hukum. MOU adalah suatu alternativ lebih resmi daripada suatu persetujuan jantan (gentlemen's agreement) atau persetujuan lisan.

Dalam beberapa kasus serius, bergantung pada kata-kata tepat, MOU bisa memiliki kekuatan mengikat dari suatu kontrak; sebagai suatu materi hukum, kontrak tak perlu diberi label sedemikian sehingga secara hukum mengikat. Apakah iya atau tidak suatu dokumen merupakan suatu kontrak mengikat, bergantung hanya pada ada atau tidaknya anasir hukum didefinisikan secara baik dalam teks tepat dokumen tersebut (sehingga disebut "empat sudut"). Sebagai contoh, suatu kontrak mengikat biasanya harus berisi pertimbangan timbal-balik (mutual consideration) - suatu kewajiban-kewajiban bisa-ditegakkan secara hukum dari para pihak, dan pembentukannya harus berlangsung bebas dari apa yang disebut sebagai pertahanan-pertahanan nyata ke pembentukan kontrak.


MOU VS LOI DAN VS KONTRAK

LOI (letter of intent; surat minat) adalah dokumen resmi bisnis yg mirip dgn apa yg disebut sbg lembar MOU (memorandum of understanding: nota kesepahaman), lembar termin atau lembar diskusi. Istilah berbeda mencerminkan isi berbeda, tp tak membuat mrk berbeda dibawah hukum. Sebaliknya, suatu kontrak persetujuan adalah, dokumen hukum yg diatur oleh hukum kontrak, dan secara hukum mengikat penuh para pihak bersepakat didlmnya dgn segala resiko dan konsekuensi, dan akibatnya.

Meski demikian, ada perbedaan spesifik antara LOI dan MOU, dimana LOI mengandung pengungkapan maksud dari satu pihak kpd pihak lain, dan dlm hal ini tak hrs ditandatangani oleh para pihak, tp cukup oleh pihak mengemukakan maksud, sedangkan MOU mengandung pengungkapan kesepakatan antara dua atau lbh pihak, dan utk keberlakuannya hrs ditandatangani oleh semua pihak terlibat.

. . .


MOU DALAM HUKUM SWSATA

Dalam hukum swasta di Amerika Serikat, MOU adalah sinonim umum untuk LOI (Letter Of Intent, LOI).


MOU DALAM PERUSAHAAN ATAU AGENSI PEMERINTAH

Banyak perusahaan dan agensi pemerintah, institusi atau lembaga resmi, menggunakan MOU untuk mendefinisikan hubungan antar departemen, agensi atau perusahaan. Di Britania Raya, MOU sedemikian sering disebut sebagai suatu "concordat" atau persetujuan antara dua pihak. Satu contoh, adalah Konkordat 2004 antara badan-badan yg memeriksa, mengatur dan mengaudit kesehatan atau perawatan sosial. Istilah MOU sering digunakan dalam konteks devolusi, sebagai contoh, Konkordat 1999 antara pusat Departemen Lingkungan Hidup, Pangan dan Urusan Pedesaan dan Lingkungan Direktorat Skotlandia.


MOU DALAM HUKUM PUBLIK INTERNASIONAL

Dalam hubungan internasional, MOU jatuh dibawah kategori luas perjanjian-perjanjian harus terdaftar dalam basisdata perjanjian PBB. Dalam praktek dan meskipun Seksi Hukum PBB mendesak bahwa pendaftaran harus dilakukan untuk menghindari 'diplomasi rahasia,' MOU terkadang dibuat secara rahasia. Sebagai materi hukum, judul MOU tak berarti sebagai dokumen yang mengikat atau tak mengikat menurut hukum internasional. Untuk menentukan apakah MOU tertentu dimaksudkan untuk menjadi sebuah dokumen yang mengikat secara hukum (yaitu perjanjian), orang perlu memeriksa minat para pihak serta posisi penandatangan (misalnya Menteri Luar Negeri vs Menteri Lingkungan Hidup). Suatu analisa cermat dari kata itu juga akan mengklarifikasi sifat pasti dokumen. Mahkamah Keadilan Internasional telah menyediakan beberapa wawasan ke dalam penentuan status hukum suatu dokumen dalam kasus landmark Qatar v. Bahrain, 1 Juli 1994.


KEUNTUNGAN MOU

Satu keuntungan dari MOU atas instrumen lebih resmi adalah bahwa, karena kewajibannya dibawah hukum internasional dapat dihindari, mereka dapat diberlakukan di kebayakan negara tanpa memerlukan perkenan secara parlementer. Karenanya, berbagai MOU sering digunakan untuk mengubah dan menyesuaikan perjanjian-perjanjian yang ada, dalam kasus mana MOU memiliki status perjanjian faktual. Keputusan mengenai retifikasi, bagaimanapun, adalah ditentukan hukum internal para pihak dan bergantung kepada suatu peringkat besar pada subjek disetujui. Berbagai MOU yang dibuat secara rahasia (yaitu tak terdaftar dengan PBB) tak bisa ditegakkan dihadapan organ PBB, dan dapat disimpulkan bahwa tak ada kewajiban dibawah hukum internasional telah diciptakan. Seperti telah dijelaskan dalam kasus Qatar v. Bahrain, perselisihan mungkin timbul mengenai status dokumen setelah salah satu pihak berusaha untuk menegakkan ketentuan-ketentuannya.

Meskipun MOU di bidang multilateral jarang terlihat, persetujuan penerbangan transnasional sebenarnya adalah MOU.


CONTOH MOU
  • MOU tentang Kerjasama Perburuhan antara Republik Rakyat Cina, Singapura dan Selandia Baru pada 2008, seiring dengan persetujuan perdagangan bebas mereka masing-masing.
  • Persetujuan antara pemerintah Republik Indonesia dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka), dalam proses perdamaian Aceh pada 15 Agustus 2005.
  • Minyak untuk program Pangan, untuk mana Irak mendatangai suatu MOU pada 1996.
  • KerangkaKerja disetujui antara AS dan Korea Utara atas persenjataan nuklir pada 21 Oktober 1994.
  • MOU tentang Pembajakan Pesawat dan Kapal dan Pelanggarannya Lainnya antara AS dan Kuba, dimaksudkan untuk menjaring kriminal pembajakan di dua negara, 3 Februari, 1973.
  • MOU Berkaitan dengan Perjanjian antara Amerika Serikat dan Uni Republik Sosialis Soviet pada Pembatasan Sistem-sistem Rudal Anti-Balistik pada 26 Mei 1972, ditandatangani oleh Presiden AS Richard Nixon dan Penerus Status USSR.
  • Persetujuan antara Kepulauan Kayman dan Kuba, dibawah mana para petugas imigrasi Kayman harus memberikan pengungsi Kuba dua pilihan: turun dan akan dipulangkan kembali ke Kuba, atau melanjutkan perjalanan mereka tanpa bantuan.
  • Persetujuan antara Inggris dan Yordania, Libya dan Lebanon mengenai potensial ekstradisi tersangka (umumnya tersangka teroris) yang jika mereka harus diadili, harus diadili secara adil dan dengan cara serupa dengan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, misalnya untuk menahan dari menggunakan bukti diperoleh melalui penggunaan penyiksaan (Artikel 3). Pemahaman semacam itu telah dikritik karena ketidakmampuan ditegakkan secara hukum. Ini telah disorot dalam proses deportasi tersangka teroris Abu Qatada, yang diinginkan oleh Yordania sehubungan dengan serangan teroris. Namun, pada saat ini, Pengadilan Banding telah menolak permohonan banding Pemerintah Britania Raya berdasarkan pada keprihatinan mereka di Yordania dalam memperoleh bukti secara potensial memberatkan Qatada melalui penggunaan penyiksaan.



MOU DALAM BISNIS


KEDUDUKAN DAN KEKUATAN HUKUM MOU
DIBANDING HUKUM KONTRAK DI INDONESIA
DITINJAU DARI SEGI HUKUM PERIKATAN
DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA


Perkembangan dunia bisnis dan dunia usaha dimulai sejak tahun 1970, ketika pemerintah mulai memacu pertumbuhan perekonomian nasional dengan mengeluarkan kebijakan penanaman modal asing melalui diterbitkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. sehingga dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut dunia bisnis di Indonesia mengalami suatu masa keemasan, dimana banyaknya para investor asing datang ke Indonesia untuk menanamkan modalnya. Banyaknya pihak asing masuk ke Indonesia dalam rangka menjalankan praktek bisnis membuat banyaknya perubahan mengenai hal-hal baru yang terjadi didalam praktek hukum bisnis di Indonesia. Hal ini terjadi pula dalam masalah kontrak bisnis. Para pihak investor asing banyak menganggap bahwa di Indonesia masalah kontrak masih merupakan hal asing sehingga tak banyak jenis-jenis variasi kontrak ada di Indonesia.

Memang ada fenomena bahwa hukum kontrak dianggap sebagai “keranjang sampah” (catch all). Hal ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara lain. Yang dimaksud dengan fenomena hukum kontrak sebagai keranjang sampah adalah banyak hal tentang dan sekitar kontrak tak diatur baik dalam undang-undang ataupun dalam yurisprudensi. Kalaupun diatur, tak selamanya bersifat memaksa, dalam arti para pihak dapat mengenyampingkannya dengan aturan yang dibuat sendiri oleh para pihak. Pengaturan sendiri oleh para pihak ini dituangkan dalam kontrak tersebut berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Dalam hal ini pengaturan sendiri dalam kontrak tersebut sama kekuatannya dengan ketentuan undang-undang. Para pihak dapat mengatur apapun dalam kontrak tersebut (catch all), sebatas tak dilarang oleh undang-undang, yurisprudensi dan kepatutan, jadi kontrak tersebut akhirnya memang berkedudukan seperti keranjang sampah saja.

Banyak pebisnis tak menyadari bagaimana pentingnya peran seorang konsultan hukum dalam suatu negosiasi transaksi bisnis. Sehingga, mereka baru datang ke konsultan hukum setelah timbul sengketa. Padahal dalam banyak hal, sengketa tersebut umumnya dapat dielakkan jika saja permulaan proses pembuatan kontrak sudah diikutsertakan konsultan hukum. Keadaan seperti ini sangat sering terjadi dewasa ini. Baik jika terjadi negosiasi antara sesama pebisnis domestik, apalagi jika salah satu pihaknya adalah pihak asing, pihak domestiklah yang perlu ekstra hati-hati. Karena biasanya pihak asing tersebut sudah berkonsultasi terlebih dahulu dengan konsultan hukumnya, sehingga kedudukannya dari segi hukum benar-benar aman dan kuat. Umumnya, dalam suatu kontrak, semakin kuat kedudukan salah satu pihak, semakin besar pula ancaman terhadap pihak lainnya.

Masalah lemahnya jaminan perlindungan hukum Indonesia terhadap kepentingan bisnis pihak mitra Indonesia merupakan akibat dari lemahnya sistem hukum kontrak berlaku di Indonesia dimana banyak hal-hal baru tak diatur dalam sistem hukum di Indonesia terutama mengenai kontrak.

Pihak Indonesia, umumnya memiliki kesempatan sangat kecil untuk menegosiasikan kepentingannya. Transaksi yang berlaku adalah transaksi take it or leave it, ambil atau tinggalkan, mau menerima atau tidak, dan karena alasan-alasan tertentu, pihak mitra Indonesia harus mengusahakan perlindungan hukum sendiri, sementara ketentuan hukum nasional belum mengakomodasikan kebutuhan itu. Sebab-sebab lain berpengaruh terhadap lemahnya perlindungan hukum tersebut dikarenakan kurang progresinya Indonesia dalam memanfaatkan fasilitas-fasilitas perlindungan hukum disediakan oleh hukum internasional.

Meski kini terdapat perkembangan sangat menggembirakan. yaitu dengan aktifnya keterlibatan Indonesia dalam pendesainan dan penandatanganan perjanjian-perjanjian yang bersifat melindungi pelaku bisnis, seperti GATT Anti-Dumping Code, dan beberapa konvensi internasional penting lainnya. seperti Convention of the law applicable to international sales of goods (1995). dan penandatanganan WTO Agreement. Harus disadari bahwa perjanjian-perjanjian tersebut, sebagai misal, WTO sebenarnya terbatas, yaitu sebatas transaksi-transaksi bisnis dilakukan dalam kerangka WTO. Dalam hal penyelesaian sengketa, juga ditentukan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa (Disputes Settlement Body) WTO hanya berurusan dengan sengketa-sengketa timbul akibat dari pelaksanaan persutujua (WTO Agreement) dan samasekali tak berkaitan dengan persetujuan bersifat privat dibuat untuk suatu transaksi antar perusahaan. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa untuk masalah-masalah bersifat privat, yang berkaitan dengan transaksi bisnis internasional, tetap berlaku hukum kontrak. Karena itu, subyek bisnis, tetap mengusahakan perlindungan sendiri melalui kontrak yang dibentuk dari akibat-akibat perilaku curang mitra bisnis.

Agar suatu negosiasi bisnis berjalan dengan baik, maka yang mesti hadir di meja negosiasi adalah mereka yang menguasai seluk-beluk bisnis disertai dengan konsultan hukum, mereka yang mewakili kepentingan bisnis akan melihat dari aspek bisnisnya, sementara konsultan hukum akan melihat aspek hukum dan formulasinya ke dalam draft kontrak. Untuk itu kepada para konsultan hukum sendiri dituntut untuk tak hanya menguasai ilmu hukum kontrak, tapi juga menguasai dasar-dasar bisnis dinegosiasikan. Sebagai misal, jika negosiasi mengenai kontrak joint venture produksi barang-barang elektronik, maka konsultan hukum tersebut juga harus mengerti tentang bisnis elektronik bersangkutan. Tak perlu secara rinci, tapi cukup dasarnya saja. Disamping itu, jika salah satu pihak merupakan pihak asing, maka seorang konsultan hukum juga harus dituntut untuk bisa berbahasa Inggris dengan sempurna. Bahkan dewasa ini, bagi seorang konsultan hukum yang datang ke meja negosiasi diharapkan pula untuk bisa memakai komputer sendiri, sehingga jalan dan hasil negosiasidapat lebih cepat dan mulus.

Rumusan yang berlaku umum adalah makin banyak rincian dimasukkan dalam suatu kontrak, maka akan makin baik pula kontrak tersebut. Karena kalau sampai kepada masalah sekecilkecilnya sudah disetujui, kemungkinan untuk timbul perselisihan di kemudian hari dapat ditekan serendah mungkin. Karena itu tak mengherankan bila dalam dunia bisnis terdapat kontrak yang jumlah halamannya puluhan bahkan ratusan lembar. Hanya saja demi alasan praktis terkadang kontrak sengaja dibuat tipis. Hal ini dilakukan karena yang dilakukan baru hanya ikatan dasar, dimana para pihak belum bisa berpartisipasi atau belum cukup waktu untuk memikirkan rinciannya dan agar ada suatu komitmen diantara para pihak, sementara rincian dibicarakan di kemudian hari. Untuk itu disepakati dahulu prinsip dasar suatu kesepakatan. Kesepakatan semacam inilah yang sering disebut sebagai MOU dunia bisnis.

Sebelum transaksi bisnis berlangsung, biasanya terlebih dahulu dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Dalam negosiasi inilah proses tawar-menawar berlangsung. Tahapan berikutnya adalah pembuatan MOU. MOU merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. MOU penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut didalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan. Maksudnya sebagai studi kelayakan adalah setelah para pihak memperoleh MOU sebagai pegangan atau pedoman awal, baru dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang diperlukan, misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya, dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan, dan berujung pada suatu persetujuan kontrak sebagai kesepakan final.

Banyak hal melatarbelakangi dibuatnya MOU, satu diantaranya adalah karena prospek bisnis suatu usaha dirasa belum jelas benar dan dengan negosiasi rumit dan belum ada jalan keluarnya, sehingga daripada tak ada ikatan apapun, maka dibuatlah MOU.

Apa yang disebut MOU sebenarnya tak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia, terutama dalam hukum kontrak di Indonesia. Tapi dewasa ini sering dipraktekkan dengan meniru (mengadopsi) apa yang dipraktekkan secara internasional. Jadi sebenarnya dengan kita memberlakukan MOU, telah ikut memperkaya khasanah pranata hukum di Indonesia ini.

Dengan tak diaturnya MOU didalam hukum konvesional kita, maka banyak menimbulkan kesimpangsiuran dalam prakteknya, misalnya apakah MOU sesuai dengan peraturan hukum positiv di Indonesia, atau apakah MOU bisa dikategorikan setingkat dengan perjanjian atau persetujuan yang diatur dalam KUH Perdata dan siapa yang bertanggungjawab apabila terjadi suatu pengingkaran di dalam kesepakatan semacam ini, juga yang paling ekstrim adalah ada yang mempertanyakan apakah MOU merupakan suatu yg mengikat seperti kontrak, sementara MOU hanya merupakan suatu nota-nota kesepakatan saja.

Berdasarkan pembahasan tersebut diatas, maka akan dapat timbul pertanyaan sebagai berikut: Sejauh mana pengaturan dan doktrin-doktrin mengenai hukum kontrak? Bagaimana kedudukan hukum MOU ditinjau dari hukum kontrak? Apa akibat bila satu pihak atau debitur melakukan pengingkaran terhadap klausa MOU?

. . .

Kembali ke definisi MOU sebagaimana dinyatakan pertama diatas, pada dasarnya suatu MOU tak lain hanyalah suatu dokumen resmi berbahasa hukum dibuat sebagai tanda kesepakatan antara dua atau lebih pihak, yang telah bernegosiasi dan bermufakat untuk suatu tindakan tertentu, tapi tak mengikat secara sepenuhnya sebagaimana suatu kontrak mengikat para pihak secara penuh, dan berdasarkan hukum internasional tak dapat ditegakkan secara hukum. Kedudukannya hanya berada diatas persetujuan jantan (gentlemen agreement), dalam bentuk tulisan berbahasa hukum, dan resmi, bukan lisan. MOU mudah diubah dan disesuaikan dalam waktu singkat, dan tak memerlukan ratifikasi atau pengesahan.

. . .


ARTIKEL TERKAIT :

BEDA MOU DAN PERSETUJUAN KONTRAK

PANDUAN MEMBUAT MOU

Minggu, 23 Agustus 2015

Proses Pengadaan tanah untuk kepentingan umum semakin mudah

Proses Pengadaan tanah untuk kepentingan umum semakin mudah
Mengacu dengan meningkatnya pembangunan infrastruktur tentunya masalah mengenai permasatanah tanah untuk kepentingan umum semakin mendapat perhatian lebih. Diharapkan nantinya sebagai salah satu point yang sangat penting untuk mulai pembangunan itu berjalan.
Oleh karena itu maka dalam hal ini pemerintah khususnya sudah melakukan berbagai macam terobosan baru yakni pengadaan tanah untuk kepentingan umum bisa dilakukan oleh Badan usaha Swasta  dengan skema KPS berdasarkan perpres no. 30 tahun 2015. Diharapkan dengan keluarnya perpres tersebut mampu membuat proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum bisa berjalan lebih cepat dan efisien.
Sependapat dengan hal tersebut bahwa proses pembangunan seringkali terhambat oleh pengadaan tanah yang tidak kunjung usai dan pengadaan tanah tidak kunjung beres karena tidak adanya anggaran. Dengan dikeluarkan perpres ini maka menjawab masalah dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum

Kemudian skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum bisa digunakan   bila sumber dananya berasal dari APBN dan/atau APBD, yang pelaksanaannya mengacu kepada Peraturan Menteri (Permen) ATR No. 6 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan Kepala BPN No. 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah. Yaitu penggunaan APBD dan APBN bisa digunakan untuk pembebasan tanah walaupun bukan untuk kepentingan umum asalkan tanah tersebut tetap dimiliki oleh kuasa pengguna anggaran.
Sehingga untuk proses pembebsan tanah menjadi lebih luas dari segi penggunaannya karena setiap instansi pemerintah dapat melakukan pembebasan tanah namun tidak terpatok pada alasan pada setiap sektor yang tidak mau mengurus mencairkan APBN/APBD karena pembebasan tanah tersebut tidak diperuntukan untuk kepentingan umum.
Selayaknya untuk proses pembangunan untuk kepentingan umum tidak lagi ada alasan terhambat karena permasalahan pembebasan tanah.

Sedangkan pemerintah sendiri mempunyai daya paksa yakni melalui UU 2

Rabu, 19 Agustus 2015

Kalkulasi Ekonomi Politik Koalisi


“Tidak ada musuh abadi dan tidak ada rekan abadi, yang ada hanya kepentingan”
Anekdot di atas sudah sangat lazim didengungkan dalam dunia politik. Kepentingan merupakan dasar dari semua tindakan politik. Sehingga wajar apabila Sumarsono (2001) mendefinisikan politik sebagai asas untuk mencapai tujuan tertentu yang kita kehendaki. Akhir-akhir ini, masyarakat dipertontonkan implementasi dari anekdot tersebut, yaitu melalui perpecahan yang dialami oleh sekretariat gabungan (setgab) partai politik (parpol).
Mengancam dan diancamnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk keluar dari koalisi parpol pemerintah menjadi topik pembahasan yang hangat selama beberapa saat terakhir. Sikap PKS terkait isu kenaikan harga BBM bersubsidi menjadi pemicu utama. PKS dinilai tidak sejalan dengan kepentingan dari parpol koalisi untuk terus mendukung kebijakan pemerintah tersebut.
Menurut Riker (1962), koalisi adalah partnership untuk memilih dan melaksanakan strategi bersama (joint strategy). Fungsi dari koalisi adalah untuk menyatukan kepentingan sehingga dapat memenangkan proses voting di legislatif (Baron, 1989). Menilik dari definisi tersebut, maka apa yang dilakukan oleh PKS sudah keluar dari pakem koalisi yang seharusnya. Karena, PKS seharusnya menyetujui joint strategy dan memberikan suara (vote) atas hasil keputusan dari koalisi, seperti dalam isu BBM dan Century.
Sebuah koalisi dapat berjalan dengan baik apabila setiap anggotanya disiplin. Dalam hal ini, disiplin adalah setiap anggota koalisi dapat bergerak bersama menolak proposal (usulan) dari partai-partai non-koalisi (Riker, 1962). Sehingga wajar, salah satu tujuan utama dari politik adalah untuk mencapai kebulatan suara untuk menolak gagasan dari pihak lain (non-koalisi), dan dalam konteks ini adalah memberikan suara dalam voting-voting pada sidang DPR.  
Membelotnya PKS ini tentu sudah mencederai kepentingan Koalisi. Pada isu kenaikan harga BBM bersubsidi, pembelotan PKS bisa saja membuat koalisi kalah dalam pemungutan suara. Hal ini tentunya harus di evaluasi oleh setgab parpol koalisi. Setgab harus melakukan kalkulasi ulang terkait kekuatan dan efektivitas dari koalisi mereka.
Dalam ranah ekonomi politik dikenal sebuah terma yang disebut Minimum Winning size. Minimum winning size adalah jumlah minimum dari sebuah koalisi yang ideal, atau sebesar 50%+1 dari jumlah pemilik suara. Pada umumnya, partai politik akan membentuk sejumlah koalisi sebesar minimum winning size, dan tidak akan lebih dari itu (Koehler, 1975). Hal ini dimaksudkan agar koalisi yang terbentuk least costly. Mengikutsertakan partai politik ke dalam sebuah koalisi adalah suatu “biaya”, seperti biaya pembagian kursi kekuasaan dan jabatan.
Menurut penulis, koalisi gemuk yang dibuat oleh Partai Demokrat justru sangat bermanfaat. Dengan adanya koalisi gemuk, dan jauh di atas minimum winning size, koalisi sudah memasuki wilayah aman. Menurut Farejohn, Fiorina dan McKelvey (1987), koalisi akan baik jika jauh di atas minimum winning size, agar menghindari kemungkinan terjadinya pembangkangan dari dalam tubuh koalisi. Hal ini terbukti dari berhasilnya koalisi partai pemerintah memenangi voting dalam isu kenaikan harga BBM bersubsidi walaupun terjadi pembangkangan dari anggota partai koalisi (PKS).
Tentunya kita harus menilai sikap PKS terhadap koalisi secara objektif. Sudah barang tentu bahwa langkah politik PKS dilakukan dengan kalkulasi yang cermat. Menurut Daniel Diermeir (2009), sebuah koalisi pemerintahan akan retak apabila sebuah “critical events” dirasa lebih buruk dibandingkan dengan payoff yang didapat oleh partai koalisi. Dalam hal ini, PKS mungkin sudah melakukan kalkulasi politik bahwa menyetujui kenaikan harga BBM bersubsidi akan berdampak negatif bahkan dibandingkan keuntungan apabila mereka tetap di dalam koalisi.
Biaya Koalisi
Dalam konteks ini, maka ada dua strategi yang mungkin dilakukan PKS dan Setgab koalisi, yaitu bertahan atau keluar. Game yang akan dibentuk adalah zero sum game, karena apabila salah satu pihak menyatakan keluar, maka pihak yang lain tidak mungkin mengambil respon apapun.
Apabila menerapkan strategi bertahan maka PKS akan tetap bertahan di koalisi dan tetap memegang kursi Menteri. Memegang kursi Menteri berarti mempertahankan saluran strategis dalam kampanye di tahun 2014. Strategi ini tentu memiliki sejumlah biaya, yaitu PKS harus menyetujui kenaikan BBM dan PKS akan semakin dicap sebagai Parpol plin-plan. Isu BBM terbukti sangat sensitif dan populis. Keberpihakan yang diambil akan sangat menentukan pencitraan partai. Parpol yang menolak kenaikan BBM akan mendapat citra positif berpihak kepada rakyat kecil, dimana hal tersebut dibutuhkan oleh PKS yang sedang dilanda isu korupsi.
Merespon strategi bertahan dari PKS, tentu Setgab memiliki dua pilihan pula, mempertahankan atau mengeluarkan. Apabila pilihan mempertahankan diambil, maka hal tersebut akan memberikan sejumlah dampak. Pertama, Setgab akan menanggung biaya manuver politik PKS kedepannya. Kedua, kredibilitas dan ketegasan Setgab akan dipertanyakan, karena PKS dengan nyata melanggar code of conduct koalisi. Biaya tersebut tentu akan merugikan Setgab.
Strategi kedua adalah keluar. Keluar dari koalisi berarti kehilangan kursi Menteri dan menjadi oposisi. Kehilangan jatah kursi Menteri menyebabkan PKS akan kehilangan sarana pencitraan, dan mungkin pendanaan. Hal tersebut tentu merugikan karena Pemilu sudah sangat dekat. Disisi lain, PKS akan mendapat citra positif karena turut menolak BBM dan menempatkan diri menjadi oposisi. Dalam konteks saat ini, menjadi oposisi mendatangkan keuntungan tersendiri. Dari sejumlah survey yang dilakukan, tokoh yang dipilih publik sebagai Calon Presiden 2014 berasal dari Partai Koalisi. Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa masyarakat tidak puas dengan kinerja Pemerintahan saat ini, dan menyukai figur berasal dari oposisi.
Sekarang game akan dibalik, bagaimana bila Setgab Parpol yang melakukan langkahnya terlebih dahulu. Strategi pertama dari Setgab adalah mempertahankan PKS dalam koalisi. Dalam merespon strategi ini, PKS juga memiliki dua respon, pertama bertahan kedua keluar. Apabila menjalankan respon bertahan, maka PKS akan semakin merusak kredibilitasnya dan memperkuat anggapan umum bahwa PKS adalah Parpol yang plin plan dan suka main ancam. Hal tersebut tentu sangat merugikan dalam membangun citra PKS menjelang pemilu. Akan tetapi, apabila memilih respon bertahan, PKS akan meraih benefit berupa terjaganya kursi Menteri di Kabinet.
Strategi kedua yang dapat dijalankan oleh Setgab adalah mengeluarkan PKS dari koalisi. Biaya yang harus ditanggung oleh Setgab apabila melakukan strategi ini adalah memberikan momentum bagi PKS untuk menaikkan citranya sebagai partai yang dizolimi karena melindungi kepentingan rakyat. Hal tersebut sudah terbaca dari statemen sejumlah petinggi PKS yang mengatakan “PKS siap dikeluarkan dan dicabut Menteri selama itu untuk melindungi kepentingan rakyat”.
Masa depan koalisi
Permasalahan dalam intra setkab ini bisa menjadi pembelajaran ke depan terkait manajemen dari koalisi. Ada beberapa hal yang sebenarnya dapat dilakukan. Pertama memperbaiki mekanisme pertukaran informasi. Kedua, menerapkan resolusi konflik dan memperkuat peran setkab.
Pertama, memperbaiki mekanisme informasi. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa informasi memegang peranan penting saat ini. Minimnya informasi seringkali menjadi landasan dasar tumbangnya suatu koalisi. Menurut Baron (1989), ketidakpastian (uncertainty) informasi akan berakibat buruk bagi keberlangsungan koalisi. Setkab bisa meniru skema yang diterapkan di New Zealand, yang menerapkan skema “consultation ministers”. Fungsi dari consultation ministers adalah untuk menyebarluaskan informasi kepada anggota kabinet yang merupakan anggota koalisi.
Kedua, menerapkan resolusi konflik dan memperkuat peran setkab. Negara-negara seperti Jerman dan Denmark terbukti sukses menerapkan komite koalisi seperti Setkab. Kesuksesan penerapan komite ini dikarenakan adanya pertemuan rutin dan dipandangnya komite sebagai forum penting dalam manajemen politik (Seyd, 2002).   
Keberadaan koalisi sangatlah penting dalam percaturan politik Indonesia. Dinamika politik dan kebijakan publik Indonesia sangat bergantung dari bagaimana koalisi ini dapat berjalan. Rakyat sangat menunggu bagaimana dinamika politik elite ini berjalan, karena pada akhirnya, rakyatlah yang menanggung seluruh “biaya” dari manuver politik para politisi.



Permasalahan Pengadaan Lahan


Permasalahan Umum
Secara garis besar permasalahan yang dihadapai dalam rangka Pembangunan adalah pengadaan lahan.  Salah satu terobosan pemerintah dalam mengatasi permasalahan lahan yaitu dengan  mengeluarkan Peraturan Presiden No. 30/2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Patut diapreasi mengenai adanya terobosan ini baru dalam rangka Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum. Saat ini swasta dapat bisa terlibat aktif dalam pproses pengadaan lahan karena salah  satu klausul  pendanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dapat bersumber terlebih dahulu dari dana Badan Usaha atau pihak swasta. Berdasarkan Pasal 117 ayat (2) Peraturan Presiden No. 30/2015, pPendanaan Pengadaan Tanah oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud akan dibayar kembali oleh lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota melalui APBN dan/atau APBD setelah proses pengadaan tanah selesai.
AdalahSalah satu contoh permasalahan pengadaan lahan ini yaitu Pembangunan bendungan atau waduk di daerah, seperti Banten, Aceh, dan Jawa Tengah terganjal dengan lahan yang belum dibebaskan dibayangi masalah pembebasan lahan yang belum selesai. Dan untuk masalah teknis dilapangan kenapa hal ini bisa terjadi kami harus melakukan tindakan lanjut yang lebih kongkrit untuk mengetahui masalah yang terjadi agar tidak menjadi keyboard warrior.  Bahkan,
Tahapan Pengadaan Tanah
Pembentukan panitia pengadaan tanah yang berfungsi sebagai fasilitator antara pemerintah dan pemilik tanah. Musyawarah dilakukan oleh kedua belah pihak untuk menentukan ganti rugi yang bisa berupa uang, tanah pengganti, atau pemukiman kembali berdasarkan nilai jual tanah dan nilai jual objek yang dibangun di atasnya. Kesepakatan semua pihak memastikan tidak ada pihak yang dirugikan oleh pengambilalihan tanah biasanya karena tidak adanya kesepakatan antara para pihak maka pengadaaan lahan ini berlarut. Sampai diadakannya pihak ketiga dalam hal ini BPN (Badan Pertanahan Nasional) sebagai mediator tetap saja masih belum bisa menemukan solusi. sehingga sudah seharusnya ada pihak yang mengalah untuk bisa menemukan kata sepakat untuk proses penyerahan tanah dan ganti rugi yang adil bagi para pihak.
Kemudian Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 ini juga menyisipkan Pasal 123B di antara Pasal 123A dan 124, yang berbunyi sebagai berikut (ayat 1): proses Pengadaan Tanah yang belum selesai berdasarkan Pasal 123 dan Pasal 123A (31 Desember 2015, red) tetapi telah mendapat Penetapan Lokasi pembangunan atau Surat Persetujuan Penetapan Lokasi Pembangunan (SP2LP) atau nama lain yang dimaksudkan sebagai Penetapan Lokasi pembangunan, proses Pengadaan Tanah dapat diselesaikan berdasarkan tahapan sebagaimana diayur dalam Peraturan Presiden ini. Proses Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dimulai dari tahapan Pelaksanaan Pengadaan Tanah,  bunyi Pasal 123B ayat (2) Perpres tersebut.
Seluruh dokumen yang telah ada dalam rangka Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud, yang berupa: a. Hasil pengukuran, inventarisasi, dan identifikasi; b. Hasil musyawarah yang terkait bentuk dan besaran ganti kerugian atas bidang tanah yang sudah disepakati sebelumnya dengan Pihak; c. Pemberian ganti kerugian dan pelepasan hak; dan/atau dokumen terkait lainnya, menjadi dokumen Pengadaan Tanah sebagaimana diatur dalam Perpres ini. Penetapan Lokasi pembangunan atau Surat Persetujuan Penetapan Lokasi Pembangunan (SP2LP) atau nama lain yang dimaksudkan sebagai Penetapan Lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud, diperbaharui untuk jangka waktu 2 (dua) tahun oleh Gubernur,  bunyi Pasal 123B Ayat (4) Perpres No. 30/2015 itu[i].
Alternatif Solusi
Dalam rangka pembangunan nasional, permasalahan lahan merupakan salah satu masalah utama. Oleh karena itu diperlukan penanganan khusus dari pejabat terkait, antara lain:
a.      Perlunya pengawasan dari pihak yang independen dalam hal penyelenggaraan  pengadaan tanah agar sesuai dengan peraturan yang berlaku.
b.      Diperlukan transparansi dari pejabat terkait kepada pihak yang mengalami dampak dari akuisisi lahan baik dari segi keuangan maupun administrasi.
c.       Kejelasan mengenai para pihak yang akan menerima ganti rugi adalah benar sebagai pemilik lahan.
d.      Komunikasi intim  yang terdokumentasi dengan baik oleh para pihak terkait, berfungsi sebagai upaya preventif  penyeleseian konflik.

Proses Pengadaan Tanah Untuk Badan Usaha Milik Swasta


Berbeda dengan pengadaan Tanah untuk kepentingan Umum, peralihan hak atas tanah untuk kepentingan swasta atau individu lebih mudah. Karena tinggal proses pengalihan hak atas tanah dari para pihak. Namun bilaberbicara mengenai pengadaan tanah untuk industri atau BUMS tentunya mengenai regulasi dan perizinan akan sangat berpengaruh kemudian ada beberapa izin yang memang ini domain dari Pemerintah daerah.
Pengadaan tanah untuk kepentingan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) adalah kepentingan yang diperuntukkan memperoleh keuntungan. Untuk melindungi kepentingan tersebut maka ada batasan-batasan untuk melindungi kepentingan bangsa pada umumnya. Diantaranya: pembatasan kepemilikan individu, pembatasan hak penguasaan tanah  perusahaan, pembatasan luas tanah yang bisa di kuasai dan masih banyak pembatasan.
Namun kalau kita melihat lebih jauh mengenai proses pengadaan tanah untuk industri atau BUMS. Maka kita harus melihat dengan sudut pandang yang berbeda dengan hal ini.  Melihat Kewenangann dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan industri adalah kewenangan dari pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah kabupaten atau kota.
Penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan disemua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Telah ada Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan dan Kewenangan Provinsi di bidang otonom, di bidang pertanahan sebagaimana tertera dalam pasal 2 ayat ( 3 ) butir ( 14 ) sebagai berikut Penetapan persyaratan pemberian hak atas tanah, Penetapan persyaratan landreform, penetapan standar administrasi pertanahan. Penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan.Penetapan kerangka dasar kadastral nasional dan pelaksanaan kerangka dasar kadastral orde I dan orde II.  Kemudian Sesuai Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 2003 tentang kebijakan Nasional di Bidang pertanahan yang menyerahkan sembilan kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan kepada pemerintah kabupaten dan kota, yaitu sebagai berikut : Pemanfaatan dan penyelesaikan masalah tanah kosong, Pemberian izin membuka tanah, Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota,  Pemberian izin lokasi, Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, Penyelesaian sengketa tanah garapan, Penyelesaian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimal dan tanah absente, Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat (tanah adat).
Sebagai salah satu wujud perimbangan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah maka untuk kewenangan dalam Ijinb Lokasi, IMB, izin pemanfaatan ruang, Izin peruntukan penggunaan lahan itu adalah merupakan domain pemerintah daerah.
Kemudian untuk Proses pengadaan tanah akan terjadi proses peralihan hak atas tanah. Dalam proses peralihan hak atas tanah ini kita harus melihat dari awal mengenai asal usul dari tanah tersebut, untuk proses peralihan hak atas tanah kepada BUMS adalah sebagai berikut :
Mengenai Hak Atas tanah ada beberapa yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,  hak milik, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan yang ketentun pokoknya terdapat dalam UUPA, serta hak lain dalam hukum adat setempat, pengaturan ini dapat dilihat pada Pasal 4, 9, 16, dan BAB II UUPA. Jamaknya  untuk hak atas tanah yang bisa dikuasai oleh BUMS sesuai pasal 30 UUPA yaitu HGU atau Hak Guna Usaha.

Kemudian dalam kasus tanah yang telah dikeluarkan izin lokasinya, perusahaan harus melakukan pembebasan tanah untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut dengan cara pembayaran, rekonsialiasi, negoisasi, kesempatan kerja, penyertaan saham dst.