Rabu, 19 Agustus 2015

Kalkulasi Ekonomi Politik Koalisi


“Tidak ada musuh abadi dan tidak ada rekan abadi, yang ada hanya kepentingan”
Anekdot di atas sudah sangat lazim didengungkan dalam dunia politik. Kepentingan merupakan dasar dari semua tindakan politik. Sehingga wajar apabila Sumarsono (2001) mendefinisikan politik sebagai asas untuk mencapai tujuan tertentu yang kita kehendaki. Akhir-akhir ini, masyarakat dipertontonkan implementasi dari anekdot tersebut, yaitu melalui perpecahan yang dialami oleh sekretariat gabungan (setgab) partai politik (parpol).
Mengancam dan diancamnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk keluar dari koalisi parpol pemerintah menjadi topik pembahasan yang hangat selama beberapa saat terakhir. Sikap PKS terkait isu kenaikan harga BBM bersubsidi menjadi pemicu utama. PKS dinilai tidak sejalan dengan kepentingan dari parpol koalisi untuk terus mendukung kebijakan pemerintah tersebut.
Menurut Riker (1962), koalisi adalah partnership untuk memilih dan melaksanakan strategi bersama (joint strategy). Fungsi dari koalisi adalah untuk menyatukan kepentingan sehingga dapat memenangkan proses voting di legislatif (Baron, 1989). Menilik dari definisi tersebut, maka apa yang dilakukan oleh PKS sudah keluar dari pakem koalisi yang seharusnya. Karena, PKS seharusnya menyetujui joint strategy dan memberikan suara (vote) atas hasil keputusan dari koalisi, seperti dalam isu BBM dan Century.
Sebuah koalisi dapat berjalan dengan baik apabila setiap anggotanya disiplin. Dalam hal ini, disiplin adalah setiap anggota koalisi dapat bergerak bersama menolak proposal (usulan) dari partai-partai non-koalisi (Riker, 1962). Sehingga wajar, salah satu tujuan utama dari politik adalah untuk mencapai kebulatan suara untuk menolak gagasan dari pihak lain (non-koalisi), dan dalam konteks ini adalah memberikan suara dalam voting-voting pada sidang DPR.  
Membelotnya PKS ini tentu sudah mencederai kepentingan Koalisi. Pada isu kenaikan harga BBM bersubsidi, pembelotan PKS bisa saja membuat koalisi kalah dalam pemungutan suara. Hal ini tentunya harus di evaluasi oleh setgab parpol koalisi. Setgab harus melakukan kalkulasi ulang terkait kekuatan dan efektivitas dari koalisi mereka.
Dalam ranah ekonomi politik dikenal sebuah terma yang disebut Minimum Winning size. Minimum winning size adalah jumlah minimum dari sebuah koalisi yang ideal, atau sebesar 50%+1 dari jumlah pemilik suara. Pada umumnya, partai politik akan membentuk sejumlah koalisi sebesar minimum winning size, dan tidak akan lebih dari itu (Koehler, 1975). Hal ini dimaksudkan agar koalisi yang terbentuk least costly. Mengikutsertakan partai politik ke dalam sebuah koalisi adalah suatu “biaya”, seperti biaya pembagian kursi kekuasaan dan jabatan.
Menurut penulis, koalisi gemuk yang dibuat oleh Partai Demokrat justru sangat bermanfaat. Dengan adanya koalisi gemuk, dan jauh di atas minimum winning size, koalisi sudah memasuki wilayah aman. Menurut Farejohn, Fiorina dan McKelvey (1987), koalisi akan baik jika jauh di atas minimum winning size, agar menghindari kemungkinan terjadinya pembangkangan dari dalam tubuh koalisi. Hal ini terbukti dari berhasilnya koalisi partai pemerintah memenangi voting dalam isu kenaikan harga BBM bersubsidi walaupun terjadi pembangkangan dari anggota partai koalisi (PKS).
Tentunya kita harus menilai sikap PKS terhadap koalisi secara objektif. Sudah barang tentu bahwa langkah politik PKS dilakukan dengan kalkulasi yang cermat. Menurut Daniel Diermeir (2009), sebuah koalisi pemerintahan akan retak apabila sebuah “critical events” dirasa lebih buruk dibandingkan dengan payoff yang didapat oleh partai koalisi. Dalam hal ini, PKS mungkin sudah melakukan kalkulasi politik bahwa menyetujui kenaikan harga BBM bersubsidi akan berdampak negatif bahkan dibandingkan keuntungan apabila mereka tetap di dalam koalisi.
Biaya Koalisi
Dalam konteks ini, maka ada dua strategi yang mungkin dilakukan PKS dan Setgab koalisi, yaitu bertahan atau keluar. Game yang akan dibentuk adalah zero sum game, karena apabila salah satu pihak menyatakan keluar, maka pihak yang lain tidak mungkin mengambil respon apapun.
Apabila menerapkan strategi bertahan maka PKS akan tetap bertahan di koalisi dan tetap memegang kursi Menteri. Memegang kursi Menteri berarti mempertahankan saluran strategis dalam kampanye di tahun 2014. Strategi ini tentu memiliki sejumlah biaya, yaitu PKS harus menyetujui kenaikan BBM dan PKS akan semakin dicap sebagai Parpol plin-plan. Isu BBM terbukti sangat sensitif dan populis. Keberpihakan yang diambil akan sangat menentukan pencitraan partai. Parpol yang menolak kenaikan BBM akan mendapat citra positif berpihak kepada rakyat kecil, dimana hal tersebut dibutuhkan oleh PKS yang sedang dilanda isu korupsi.
Merespon strategi bertahan dari PKS, tentu Setgab memiliki dua pilihan pula, mempertahankan atau mengeluarkan. Apabila pilihan mempertahankan diambil, maka hal tersebut akan memberikan sejumlah dampak. Pertama, Setgab akan menanggung biaya manuver politik PKS kedepannya. Kedua, kredibilitas dan ketegasan Setgab akan dipertanyakan, karena PKS dengan nyata melanggar code of conduct koalisi. Biaya tersebut tentu akan merugikan Setgab.
Strategi kedua adalah keluar. Keluar dari koalisi berarti kehilangan kursi Menteri dan menjadi oposisi. Kehilangan jatah kursi Menteri menyebabkan PKS akan kehilangan sarana pencitraan, dan mungkin pendanaan. Hal tersebut tentu merugikan karena Pemilu sudah sangat dekat. Disisi lain, PKS akan mendapat citra positif karena turut menolak BBM dan menempatkan diri menjadi oposisi. Dalam konteks saat ini, menjadi oposisi mendatangkan keuntungan tersendiri. Dari sejumlah survey yang dilakukan, tokoh yang dipilih publik sebagai Calon Presiden 2014 berasal dari Partai Koalisi. Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa masyarakat tidak puas dengan kinerja Pemerintahan saat ini, dan menyukai figur berasal dari oposisi.
Sekarang game akan dibalik, bagaimana bila Setgab Parpol yang melakukan langkahnya terlebih dahulu. Strategi pertama dari Setgab adalah mempertahankan PKS dalam koalisi. Dalam merespon strategi ini, PKS juga memiliki dua respon, pertama bertahan kedua keluar. Apabila menjalankan respon bertahan, maka PKS akan semakin merusak kredibilitasnya dan memperkuat anggapan umum bahwa PKS adalah Parpol yang plin plan dan suka main ancam. Hal tersebut tentu sangat merugikan dalam membangun citra PKS menjelang pemilu. Akan tetapi, apabila memilih respon bertahan, PKS akan meraih benefit berupa terjaganya kursi Menteri di Kabinet.
Strategi kedua yang dapat dijalankan oleh Setgab adalah mengeluarkan PKS dari koalisi. Biaya yang harus ditanggung oleh Setgab apabila melakukan strategi ini adalah memberikan momentum bagi PKS untuk menaikkan citranya sebagai partai yang dizolimi karena melindungi kepentingan rakyat. Hal tersebut sudah terbaca dari statemen sejumlah petinggi PKS yang mengatakan “PKS siap dikeluarkan dan dicabut Menteri selama itu untuk melindungi kepentingan rakyat”.
Masa depan koalisi
Permasalahan dalam intra setkab ini bisa menjadi pembelajaran ke depan terkait manajemen dari koalisi. Ada beberapa hal yang sebenarnya dapat dilakukan. Pertama memperbaiki mekanisme pertukaran informasi. Kedua, menerapkan resolusi konflik dan memperkuat peran setkab.
Pertama, memperbaiki mekanisme informasi. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa informasi memegang peranan penting saat ini. Minimnya informasi seringkali menjadi landasan dasar tumbangnya suatu koalisi. Menurut Baron (1989), ketidakpastian (uncertainty) informasi akan berakibat buruk bagi keberlangsungan koalisi. Setkab bisa meniru skema yang diterapkan di New Zealand, yang menerapkan skema “consultation ministers”. Fungsi dari consultation ministers adalah untuk menyebarluaskan informasi kepada anggota kabinet yang merupakan anggota koalisi.
Kedua, menerapkan resolusi konflik dan memperkuat peran setkab. Negara-negara seperti Jerman dan Denmark terbukti sukses menerapkan komite koalisi seperti Setkab. Kesuksesan penerapan komite ini dikarenakan adanya pertemuan rutin dan dipandangnya komite sebagai forum penting dalam manajemen politik (Seyd, 2002).   
Keberadaan koalisi sangatlah penting dalam percaturan politik Indonesia. Dinamika politik dan kebijakan publik Indonesia sangat bergantung dari bagaimana koalisi ini dapat berjalan. Rakyat sangat menunggu bagaimana dinamika politik elite ini berjalan, karena pada akhirnya, rakyatlah yang menanggung seluruh “biaya” dari manuver politik para politisi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar